Rabu, 14 Oktober 2015

KERAJAAN SANGGAR

Raja Sanggar Abdullah Samsuddin Daeng Manggalai (1900-1926), yang melepaskan jabatannya sebagai Raja dan memutuskan untuk bergabung bersama Bima tahun 1928, untuk sebuah alasan yaitu “BERSATU”, sejak dulu masyarakat Sanggar mengenal konsep bersatu yang dapat dilihat paska meletusnya gunung tambora 1815, yaitu terbentuknya kembali sanggar setelah meletusnya Tambora di desa Kaboro, Kaboro yang mempunyai makna bersatu atau dalam bahasa setempat bersama.Sanggar adalah satu dari tiga kerajaan yang berada di lereng Gunung Tambora. Dua kerajaan lainnya, yaitu Tambora dan Pekat, yang disebut dalam berbagai literatur telah musnah akibat letusan tersebut.
 
 
Raja Sanggar Abdullah Samsuddin Daeng Manggalai (1900-1926).
Dikatakan bahwa Raja Abdullah (1900-1926) raja Sanggar yang ke-15 mempunyai keahlian berburu atau dalam bahasa setempat nggilo (masih sama seperti bahasa Bima), dari beberapa wawancara dengan narasumber bahwa beliau tidak pernah memakan hasil dari buruannya, beliau berburu hanya untuk kepentingan bila ada dari rakyatnya yang memrlukan makanan.(foto : Raja Abdullah berburu dengan kepala residen pulau sumbawa tahun 1915)
Tambora tak hanya bisa mendaki gunungnya saja. Tapi juga menjelajah kawasan sejarahnya. Karena dahulu, di sana berdiri 3 kerajaan, salah satunya Kerajaan Sanggar. Warga berusaha mempertahankan eksistensi budayanya. 
Sebelum Gunung Tambora meletus pada tahun 1815, berdiri 3 kerajaan di kaki gunungnya. Adalah Kerajaan Tambora, Kerajaan Sanggar dan Kerajaan Pekat. Namun setelah gunung meletus yang efek ledakannya terasa hingga Eropa, yang paling banyak tersisa adalah Sanggar.

Kini Sanggar menjadi sebuah kecamatan dengan konsentrasi desa bernama Kore. Meski lebih dekat dengan Dompu, namun kecamatan ini masih masuk kawasan Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di Desa Kore, terdapat banyak hasil peninggalan Kerajaan Sanggar yang digali dan dikumpulkan. Mulai dari makam, bekas bangunan, hingga peralatan perang. Ada pula buku catatan turun-temurun kerajaan yang dibuat pasca letusan.

"Kami para turunan yang tersisa," kata Ayaturrahman.

Dia adalah Ketua Pemuda Adat Sanggar yang ditemui  beberapa waktu lalu. Pria ini salah satu keturunan langsung dari Raja Abdullah Samsudin. Namun tak hanya dirinya, masih banyak yang merupakan turunannya langsung.

Syukurnya, mereka sadar dan sedang berusaha segigih mungkin menjaga sisa-sisa kebudayaan dan sejarah yang pernah berdiri di sana. Seorang pemerhati sejarah yang hanya mau dipanggil As Ad pun tengah memperdalam bahasa Kore. Ini adalah bahasa asli di sana yang hampir musnah lantaran tak ada yang mendalaminya.

"Bahasa Kore dan tarian Sanggar sudah masuk dalam mulok (muatan lokal) di sekolah dasar," kata As At.

Meski baru mengenal kata-kata secara terputus, bukan dalam bentuk kalimat, namun As At berusaha memperkenalkan bahasa ini secara luas agar tidak hilang ditelan zaman. Sampai sejauh ini, ada 600 kata dari bahasa Kore yang telah ditemukan. Ayat mengklaim, meski banyak yang menyamai tarian asal Sanggar, namun hanya mereka saja yang mengetahui detil sehingga tarian terlihat sempurna.

Saat ini, ada banyak situs peninggalan yang bisa didatangi. Salah satunya area pemakaman. Area ini berada di Desa Boro, Kecamatan Sanggar. Di sana, ada kawasan pemakaman seluas 30x30 meter. Menariknya, kawasan ini masih digunakan pasca letusan gunung. Terlihat dari nisan yang memiliki karakter berbeda.

Selain bagian sejarah, Kecamatan Sanggar juga punya beberapa jalur pendakian untuk ke Tambora. Salah satu jalurnya bernama Jalur SMA karena yang membuka adalah sekelompok anak SMA bersama gurunya.

Ini tentu bisa jadi alternatif untuk para pendaki yang ingin naik Tambora. Karena selama ini jalur pendakian yang dikenal adalah dari Pancasila di Bima.

 
Kini, Sanggar adalah nama kecamatan yang tidak gampang ditemukan dalam peta Nusantara. Letaknya jauh di Pulau Sumbawa, kalah terkenal dengan Bima atau Tambora yang melegenda. Tapi, di sinilah sejarah peradaban yang nyaris tamat akibat kedasyatan lahar panas Gunung Tambora masih bisa ditemukan sisanya.dan sampai saat ini pula belum ada yang bisa memecahkan atau meneliti tentang bahasa kore atau di kenal dengan bahasa Non-Austronesia dengan alasan paling mendasar adalah bahasa tersebut bersama penuturnya telah musnah akibat letusan gunung api raksasa tahun 1815” yaitu Tambora. Upaya mengungkap peradaban masa lalu di Semenanjung Sanggar memang tak gampang, karena masyarakat Sanggar yang tersisa saat ini seperti tercerabut dari akar budaya mereka sendiri. Jejak peradaban di Semenanjung Sanggar, lebih banyak muncul dalam bentuk artefak dan tulang-belulang yang terkubur material letusan Gunung Tambora hampir 200 tahun lalu, dan baru mulai digali kembali pada 2004 oleh Haraldur Sirgurdsson, vulkanolog dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat.
Penggalian yang kemudian diteruskan para arkeolog Indonesia hingga saat ini. Namun, upaya merekonstruksi peradaban masa lalu ini masih sulit karena luasnya area yang tertutup awan panas sangat luas, dibandingkan upaya penggalian yang ”hanya” mencapai 25 meter persegi tiap tahunnya. berbicara masalah kerajaan sanggar,tentu tidak lepas dengan leganda yang berkembang di daerah Sanggar yaitu legenda Putri Dae Minga Dalam cerita rakyat Sanggar, Dae Minga adalah putri cantik dari Kerajaan Sanggar yang rela dibuang ke kawah Gunung Tambora demi mencegah peperangan, karena dia menjadi rebutan pangeran kerajaan-kerajaan sekitarnya. Legenda ini diyakini hingga kini dan semakin menguatkan hubungan antara Sanggar modern dengan ”kerajaan gaib” Tambora di puncak Gunung Tambora.
Beberapa cerita tentang adanya kerajaan di puncak Gunung Tambora itu banyak diwartakan para pencari madu dan pencari kayu dari Sanggar. ”Kakek saya, Goni, pernah hilang enam bulan di Gunung Tambora, pulangnya dia menceritakan adanya kerajaan dengan masyarakatnya yang sejahtera dan lebih maju dari kita,” kisah Suhada. ”Ketika pulang, ada lubang di telinga kakek saya itu.” Tak hanya kakek Suhada, para pencari madu di lereng Gunung Tambora sering membawa kisah seperti ini, yang menunjukkan hubungan yang kuat antara orang Sanggar dengan peradaban Semenanjung Sanggar sebelum letusan. Temuan alat tenun yang telah menjadi arang di lubang penggalian bekas Kerajaan Tambora di Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Bima, semakin mengonfirmasi hal itu. Lira atau bilah kayu asam untuk menenun yang warnanya hitam kelam dan alat pemintal benang yang disebut janta, yang masih dimiliki Suhada dan diwarisinya dari leluhurnya, menunjukkan kesamaan dengan alat tenun yang digali para arkeolog. ”Sampai sekarang, masih banyak yang menyimpan alat tenun ini walau sebagian sudah rusak. Bagi perempuan Sanggar, alat tenun ini hingga kini masih dianggap sebagai senjata.
Kami juga punya tarian yang melambangkan perempuan-perempuan menggunakan lira sebagai senjata,” kata Suhada. Selain alat tenun, warga juga meyakini lesung berusia ratusan tahun di Desa Boro, Kecamatan Sanggar, sama bentuknya dengan yang ada di Tambora. Warga Sanggar secara rutin masih memainkan lesung itu dalam pertunjukan Kareku Kandei di berbagai acara hajatan. Dari temuan Balai Arkeologi Denpasar, yang dipimpin Made Geria, di lubang ekskavasi Oi Bura, menunjukkan bahwa beberapa temuan di sana memang mengindikasikan ada kemiripan antara Tambora dan Sanggar. Bahkan, tim peneliti ini sering mendiskusikan berbagai temuan di lubang penggalian ke salah satu warga Sanggar yang masih paham soal budayanya, As’ad (32), seorang guru di SMAN 1 Sanggar. ”Kemiripan yang ditemukan seperti alat tenun, sama yang ditemukan di Desa Boro, di alat tenun itu biasanya disimpan benang menggunakan anyaman dengan daun lontar. Ditemukan juga lesung, ukirannya sama dengan di Kore, Sanggar,” kata As’ad. Ukiran di pojok dinding rumah yang ditemukan di lubang ekskavasi juga sama dengan rumah di Sanggar. ”Model rumah panggung juga sama, rumah panggung dengan enam tiang yang disebut pa’a sekolo,” kata As’ad. Kesamaan benda-benda arkeologis di lubang galian Kerajaan Tambora dengan barang yang dimiliki warga Sanggar saat ini menguatkan, adanya anyaman sejarah di antara keduanya. Jika tulang-belulang dan berbagai artefak yang ditemukan di lubang galian Desa Oi Bura adalah bukti mati yang berkisah, kehidupan di Sanggar adalah artefak yang hidup.
Keduanya, sama-sama penting untuk diungkap lebih lanjut oleh para peneliti untuk membuktikan keberadaan peradaban yang terkubur oleh letusan sebuah gunung berap hasil penggalian di Lereng gunung tambora. Amirul A. Emen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar