Raja Sanggar Abdullah Samsuddin Daeng Manggalai
(1900-1926), yang melepaskan jabatannya sebagai Raja dan memutuskan
untuk bergabung bersama Bima tahun 1928, untuk sebuah alasan yaitu
“BERSATU”, sejak dulu masyarakat Sanggar mengenal konsep bersatu yang
dapat dilihat paska meletusnya gunung tambora 1815, yaitu terbentuknya
kembali sanggar setelah meletusnya Tambora di desa Kaboro, Kaboro yang
mempunyai makna bersatu atau dalam bahasa setempat bersama.Sanggar adalah satu dari tiga kerajaan yang berada di lereng Gunung
Tambora. Dua kerajaan lainnya, yaitu Tambora dan Pekat, yang disebut
dalam berbagai literatur telah musnah akibat letusan tersebut.
Raja Sanggar Abdullah Samsuddin Daeng Manggalai (1900-1926).
Dikatakan bahwa Raja Abdullah (1900-1926) raja Sanggar yang ke-15
mempunyai keahlian berburu atau dalam bahasa setempat nggilo (masih sama
seperti bahasa Bima), dari beberapa wawancara dengan narasumber bahwa
beliau tidak pernah memakan hasil dari buruannya, beliau berburu hanya
untuk kepentingan bila ada dari rakyatnya yang memrlukan makanan.(foto :
Raja Abdullah berburu dengan kepala residen pulau sumbawa tahun 1915)
Tambora tak hanya bisa mendaki gunungnya saja. Tapi juga menjelajah
kawasan sejarahnya. Karena dahulu, di sana berdiri 3 kerajaan, salah
satunya Kerajaan Sanggar. Warga berusaha mempertahankan eksistensi
budayanya.
Sebelum Gunung Tambora meletus pada tahun 1815,
berdiri 3 kerajaan di kaki gunungnya. Adalah Kerajaan Tambora, Kerajaan
Sanggar dan Kerajaan Pekat. Namun setelah gunung meletus yang efek
ledakannya terasa hingga Eropa, yang paling banyak tersisa adalah
Sanggar.
Kini Sanggar menjadi sebuah kecamatan dengan konsentrasi desa bernama Kore. Meski lebih dekat dengan Dompu, namun kecamatan ini masih masuk kawasan Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Di Desa Kore, terdapat banyak hasil peninggalan Kerajaan Sanggar yang digali dan dikumpulkan. Mulai dari makam, bekas bangunan, hingga peralatan perang. Ada pula buku catatan turun-temurun kerajaan yang dibuat pasca letusan.
"Kami para turunan yang tersisa," kata Ayaturrahman.
Dia adalah Ketua Pemuda Adat Sanggar yang ditemui beberapa waktu lalu. Pria ini salah satu keturunan langsung dari Raja Abdullah Samsudin. Namun tak hanya dirinya, masih banyak yang merupakan turunannya langsung.
Syukurnya, mereka sadar dan sedang berusaha segigih mungkin menjaga sisa-sisa kebudayaan dan sejarah yang pernah berdiri di sana. Seorang pemerhati sejarah yang hanya mau dipanggil As Ad pun tengah memperdalam bahasa Kore. Ini adalah bahasa asli di sana yang hampir musnah lantaran tak ada yang mendalaminya.
"Bahasa Kore dan tarian Sanggar sudah masuk dalam mulok (muatan lokal) di sekolah dasar," kata As At.
Meski baru mengenal kata-kata secara terputus, bukan dalam bentuk kalimat, namun As At berusaha memperkenalkan bahasa ini secara luas agar tidak hilang ditelan zaman. Sampai sejauh ini, ada 600 kata dari bahasa Kore yang telah ditemukan. Ayat mengklaim, meski banyak yang menyamai tarian asal Sanggar, namun hanya mereka saja yang mengetahui detil sehingga tarian terlihat sempurna.
Saat ini, ada banyak situs peninggalan yang bisa didatangi. Salah satunya area pemakaman. Area ini berada di Desa Boro, Kecamatan Sanggar. Di sana, ada kawasan pemakaman seluas 30x30 meter. Menariknya, kawasan ini masih digunakan pasca letusan gunung. Terlihat dari nisan yang memiliki karakter berbeda.
Selain bagian sejarah, Kecamatan Sanggar juga punya beberapa jalur pendakian untuk ke Tambora. Salah satu jalurnya bernama Jalur SMA karena yang membuka adalah sekelompok anak SMA bersama gurunya.
Ini tentu bisa jadi alternatif untuk para pendaki yang ingin naik Tambora. Karena selama ini jalur pendakian yang dikenal adalah dari Pancasila di Bima.
Kini Sanggar menjadi sebuah kecamatan dengan konsentrasi desa bernama Kore. Meski lebih dekat dengan Dompu, namun kecamatan ini masih masuk kawasan Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Di Desa Kore, terdapat banyak hasil peninggalan Kerajaan Sanggar yang digali dan dikumpulkan. Mulai dari makam, bekas bangunan, hingga peralatan perang. Ada pula buku catatan turun-temurun kerajaan yang dibuat pasca letusan.
"Kami para turunan yang tersisa," kata Ayaturrahman.
Dia adalah Ketua Pemuda Adat Sanggar yang ditemui beberapa waktu lalu. Pria ini salah satu keturunan langsung dari Raja Abdullah Samsudin. Namun tak hanya dirinya, masih banyak yang merupakan turunannya langsung.
Syukurnya, mereka sadar dan sedang berusaha segigih mungkin menjaga sisa-sisa kebudayaan dan sejarah yang pernah berdiri di sana. Seorang pemerhati sejarah yang hanya mau dipanggil As Ad pun tengah memperdalam bahasa Kore. Ini adalah bahasa asli di sana yang hampir musnah lantaran tak ada yang mendalaminya.
"Bahasa Kore dan tarian Sanggar sudah masuk dalam mulok (muatan lokal) di sekolah dasar," kata As At.
Meski baru mengenal kata-kata secara terputus, bukan dalam bentuk kalimat, namun As At berusaha memperkenalkan bahasa ini secara luas agar tidak hilang ditelan zaman. Sampai sejauh ini, ada 600 kata dari bahasa Kore yang telah ditemukan. Ayat mengklaim, meski banyak yang menyamai tarian asal Sanggar, namun hanya mereka saja yang mengetahui detil sehingga tarian terlihat sempurna.
Saat ini, ada banyak situs peninggalan yang bisa didatangi. Salah satunya area pemakaman. Area ini berada di Desa Boro, Kecamatan Sanggar. Di sana, ada kawasan pemakaman seluas 30x30 meter. Menariknya, kawasan ini masih digunakan pasca letusan gunung. Terlihat dari nisan yang memiliki karakter berbeda.
Selain bagian sejarah, Kecamatan Sanggar juga punya beberapa jalur pendakian untuk ke Tambora. Salah satu jalurnya bernama Jalur SMA karena yang membuka adalah sekelompok anak SMA bersama gurunya.
Ini tentu bisa jadi alternatif untuk para pendaki yang ingin naik Tambora. Karena selama ini jalur pendakian yang dikenal adalah dari Pancasila di Bima.
Kini, Sanggar
adalah nama kecamatan yang tidak gampang ditemukan dalam peta
Nusantara. Letaknya jauh di Pulau Sumbawa, kalah terkenal dengan Bima
atau Tambora yang melegenda. Tapi, di sinilah sejarah peradaban yang
nyaris tamat akibat kedasyatan lahar panas Gunung Tambora masih bisa
ditemukan sisanya.dan sampai saat ini pula belum ada yang bisa
memecahkan atau meneliti tentang bahasa kore atau di kenal dengan
bahasa Non-Austronesia dengan alasan paling mendasar adalah bahasa
tersebut bersama penuturnya telah musnah akibat letusan gunung api
raksasa tahun 1815” yaitu Tambora. Upaya mengungkap peradaban masa lalu
di Semenanjung Sanggar memang tak gampang, karena masyarakat Sanggar
yang tersisa saat ini seperti tercerabut dari akar budaya mereka
sendiri. Jejak peradaban di Semenanjung Sanggar, lebih banyak muncul
dalam bentuk artefak dan tulang-belulang yang terkubur material letusan
Gunung Tambora hampir 200 tahun lalu, dan baru mulai digali kembali pada
2004 oleh Haraldur Sirgurdsson, vulkanolog dari Universitas Rhode
Island, Amerika Serikat.
Penggalian yang kemudian diteruskan para arkeolog Indonesia hingga saat
ini. Namun, upaya merekonstruksi peradaban masa lalu ini masih sulit
karena luasnya area yang tertutup awan panas sangat luas, dibandingkan
upaya penggalian yang ”hanya” mencapai 25 meter persegi tiap tahunnya.
berbicara masalah kerajaan sanggar,tentu tidak lepas dengan leganda
yang berkembang di daerah Sanggar yaitu legenda Putri Dae Minga
Dalam cerita rakyat Sanggar, Dae Minga adalah putri cantik dari Kerajaan
Sanggar yang rela dibuang ke kawah Gunung Tambora demi mencegah
peperangan, karena dia menjadi rebutan pangeran kerajaan-kerajaan
sekitarnya. Legenda ini diyakini hingga kini dan semakin menguatkan
hubungan antara Sanggar modern dengan ”kerajaan gaib” Tambora di puncak
Gunung Tambora.
Beberapa cerita tentang adanya kerajaan di puncak Gunung Tambora itu
banyak diwartakan para pencari madu dan pencari kayu dari Sanggar.
”Kakek saya, Goni, pernah hilang enam bulan di Gunung Tambora, pulangnya
dia menceritakan adanya kerajaan dengan masyarakatnya yang sejahtera
dan lebih maju dari kita,” kisah Suhada. ”Ketika pulang, ada lubang di
telinga kakek saya itu.” Tak hanya kakek Suhada, para pencari madu di
lereng Gunung Tambora sering membawa kisah seperti ini, yang menunjukkan
hubungan yang kuat antara orang Sanggar dengan peradaban Semenanjung
Sanggar sebelum letusan. Temuan alat tenun yang telah menjadi arang di
lubang penggalian bekas Kerajaan Tambora di Desa Oi Bura,
Kecamatan Tambora, Bima, semakin mengonfirmasi hal itu. Lira atau bilah
kayu asam untuk menenun yang warnanya hitam kelam dan alat pemintal
benang yang disebut janta, yang masih dimiliki Suhada dan diwarisinya
dari leluhurnya, menunjukkan kesamaan dengan alat tenun yang digali para
arkeolog. ”Sampai sekarang, masih banyak yang menyimpan alat tenun ini
walau sebagian sudah rusak. Bagi perempuan Sanggar, alat tenun ini
hingga kini masih dianggap sebagai senjata.
Kami juga punya tarian yang melambangkan perempuan-perempuan menggunakan
lira sebagai senjata,” kata Suhada. Selain alat tenun, warga juga
meyakini lesung berusia ratusan tahun di Desa Boro,
Kecamatan Sanggar, sama bentuknya dengan yang ada di Tambora. Warga
Sanggar secara rutin masih memainkan lesung itu dalam pertunjukan Kareku
Kandei di berbagai acara hajatan. Dari temuan Balai Arkeologi
Denpasar, yang dipimpin Made Geria, di lubang ekskavasi Oi Bura,
menunjukkan bahwa beberapa temuan di sana memang mengindikasikan ada
kemiripan antara Tambora dan Sanggar. Bahkan, tim peneliti ini sering
mendiskusikan berbagai temuan di lubang penggalian ke salah satu warga
Sanggar yang masih paham soal budayanya, As’ad (32), seorang guru di
SMAN 1 Sanggar. ”Kemiripan yang ditemukan seperti alat tenun, sama yang
ditemukan di Desa Boro, di alat tenun itu biasanya disimpan benang
menggunakan anyaman dengan daun lontar. Ditemukan juga lesung, ukirannya
sama dengan di Kore, Sanggar,” kata As’ad. Ukiran di pojok dinding
rumah yang ditemukan di lubang ekskavasi juga sama dengan rumah di
Sanggar. ”Model rumah panggung juga sama, rumah panggung dengan enam
tiang yang disebut pa’a sekolo,” kata As’ad. Kesamaan benda-benda
arkeologis di lubang galian Kerajaan Tambora dengan barang yang dimiliki
warga Sanggar saat ini menguatkan, adanya anyaman sejarah di antara
keduanya. Jika tulang-belulang dan berbagai artefak yang ditemukan di
lubang galian Desa Oi Bura adalah bukti mati yang berkisah, kehidupan di Sanggar adalah artefak yang hidup.
Keduanya, sama-sama penting untuk diungkap lebih lanjut oleh para
peneliti untuk membuktikan keberadaan peradaban yang terkubur oleh
letusan sebuah gunung berap hasil penggalian di Lereng gunung tambora. Amirul A. Emen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar